Alkisah, hiduplah pada zaman dahulu seorang yang terkenal dengan kesalehannya, bernama al-
Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib yang bernama Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat
zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.
Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat,
tidak ketinggalan ia berpamitan kepada sahabatnya itu. Namun belum lama al-Balkhi
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia datang lagi. Sahabatnya menjadi heran, mengapa ia
pulang begitu cepat dari yang direncanakannya. Padahal negeri yang ditujunya sangat jauh
lokasinya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di masjid langsung bertanya kepada al-
Balkhi, sahabatnya. "Wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau pulang begitu cepat?"
"Dalam perjalanan", jawab al-Balkhi, "aku melihat suatu keanehan, sehingga aku memutuskan
untuk segera membatalkan perjalanan".
"Keanehan apa yang kamu maksud?" tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
"Ketika aku sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak", jawab al-Balkhi
menceritakan, "aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Aku pun kemudian
bertanya-tanya dalam hati. "Bagaimana burung ini bisa bertahan hidup, padahal ia berada di
tempat yang jauh dari teman-temannya, matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa".
"Tidak lama kemudian", lanjut al-Balkhi, "ada seekor burung lain yang dengan susah payah
menghampirinya sambil membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku terus
memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah kekurangan makanan, karena
ia berulangkali diberi makanan oleh temannya yang sehat".
"Lantas apa hubungannya dengan kepulanganmu?" tanya Ibrahim bin Adham yang belum
mengerti maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.
"Maka aku pun berkesimpulan", jawab al-Balkhi seraya bergumam, "bahwa Sang Pemberi Rizki
telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari
teman-temannya. Kalau begitu, Allah Maha Pemberi, tentu akan pula mencukupkan rizkiku
sekali pun aku tidak bekerja". Oleh karena itu, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera
pulang saat itu juga".
Mendengar penuturan sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, "wahai al-Balkhi
sahabatku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela
mensejajarkan derajatmu dengan seekor burung pincang lagi buta itu? Mengapa kamu
mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup dari belas kasihan dan bantuan orang lain? Mengapa
kamu tidak berpikiran sehat untuk mencoba perilaku burung yang satunya lagi? Ia bekerja
keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup sahabatnya yang memang
tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada
tangan di bawah?"
Al-Balkhi pun langsung menyadari kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam
mengambil pelajaran dari kedua burung tersebut. Saat itu pulalah ia langsung bangkit dan
mohon diri kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, "wahai Abu Ishak, ternyata engkaulah
guru kami yang baik". Lalu berangkatlah ia melanjutkan perjalanan dagangnya yang sempat
tertunda.
Dari kisah ini, mengingatkan kita semua pada hadits yang diriwayatkan dari Miqdam bin
Ma'dikarib radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda, yang artinya: "Tidak ada sama sekali cara yang lebih baik bagi seseorang untuk
makan selain dari memakan hasil karya tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud
'alaihis salam makan dari hasil jerih payahnya sendiri" (HR. Bukhari).
Jumat, 24 April 2009
Alhamdulillah
Sari al-Suqthi, seorang ulama ahli ilmu tauhid yang sangat wara' berkata, "Sudah tiga puluh
tahun lamanya aku selalu membaca istighfar, dan baru sekali ini aku membaca alhamdulillah."
"Bagaimana ceritanya?" tanya seorang sahabatnya.
"Pada waktu terjadi peristiwa kebakaran di pasar Baghdad, seseorang dengan tergopohgopoh
datang menemuiku seraya memberitahukan bahwa kedaiku selamat. Spontan aku
berucap 'Alhamdulillah!' Tetapi, lantas aku menyesal, karena mensyukuri keberuntunganku
sendiri di atas penderitaan orang banyak."jawabnya.
Sumber: Al-Wafi bi al-Wafyat, al- Shafadi
tahun lamanya aku selalu membaca istighfar, dan baru sekali ini aku membaca alhamdulillah."
"Bagaimana ceritanya?" tanya seorang sahabatnya.
"Pada waktu terjadi peristiwa kebakaran di pasar Baghdad, seseorang dengan tergopohgopoh
datang menemuiku seraya memberitahukan bahwa kedaiku selamat. Spontan aku
berucap 'Alhamdulillah!' Tetapi, lantas aku menyesal, karena mensyukuri keberuntunganku
sendiri di atas penderitaan orang banyak."jawabnya.
Sumber: Al-Wafi bi al-Wafyat, al- Shafadi
Abu hanifah dan tetangganya.
Di Kufah, Abu Hanifah mempunyai tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari bekerja,
menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging
untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia terus minum tiada
henti-hentinya sambil bemyanyi, dan baru berhenti jauh malam setelah ia merasa mengantuk
sekali, kemudian tidur pulas.
Abu Hanifah yang sudah terbiasa melaksanakan salat sepanjang malam, tentu saja merasa
terganggu oleh suara nyanyian si tukang sepatu tersebut. Tetapi, ia diamkan saja. Pada suatu
malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti biasanya.
Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya. Ternyata menurut keterangan tetangga lain, ia
baru saja ditangkap polisi dan ditahan.
Selesai salat subuh, ketika hari masih pagi, Abu Hanifah naik bighalnya ke istana. Ia ingin
menemui Amir Kufah. Ia disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri yang
berkenan menemuinya.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanya sang Amir.
"Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan, Amir, "
jawab Abu Hanifah.
"Baikiah," kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan
tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.
Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya pelan-pelan. Sementara, si tukang sepatu berjalan
kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada
tetangganya itu seraya berkata,
"Bagaimana? Aku tidak mengecewakanmu kan?"
"Tidak, bahkan sebaliknya." Ia menambahkan, "Terima kasih. Semoga Allah memberimu
balasan kebajikan."
Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih
khusyu' dalam ibadahnya setiap malam.
Sumber: Al-Thabaqat al-Saniyyat fi Tajarun al-Hanafiyat, Taqiyyuddin bin Abdul Qadir al-
Tammii
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging
untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia terus minum tiada
henti-hentinya sambil bemyanyi, dan baru berhenti jauh malam setelah ia merasa mengantuk
sekali, kemudian tidur pulas.
Abu Hanifah yang sudah terbiasa melaksanakan salat sepanjang malam, tentu saja merasa
terganggu oleh suara nyanyian si tukang sepatu tersebut. Tetapi, ia diamkan saja. Pada suatu
malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti biasanya.
Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya. Ternyata menurut keterangan tetangga lain, ia
baru saja ditangkap polisi dan ditahan.
Selesai salat subuh, ketika hari masih pagi, Abu Hanifah naik bighalnya ke istana. Ia ingin
menemui Amir Kufah. Ia disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri yang
berkenan menemuinya.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanya sang Amir.
"Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan, Amir, "
jawab Abu Hanifah.
"Baikiah," kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan
tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.
Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya pelan-pelan. Sementara, si tukang sepatu berjalan
kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada
tetangganya itu seraya berkata,
"Bagaimana? Aku tidak mengecewakanmu kan?"
"Tidak, bahkan sebaliknya." Ia menambahkan, "Terima kasih. Semoga Allah memberimu
balasan kebajikan."
Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih
khusyu' dalam ibadahnya setiap malam.
Sumber: Al-Thabaqat al-Saniyyat fi Tajarun al-Hanafiyat, Taqiyyuddin bin Abdul Qadir al-
Tammii
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Ziyad bin abu sufyan
Sumiyah, ibunda Ziyad, adalah seorang wanita pelacur. Abu Sufyan bin Harb mengaku bahwa
dirinya satu-satunya lelaki yang menghamili wanita itu. Jadi dia ayah Ziyad.
Suatu hari Khalifah Mu'awiyah naik ke atas mimbar, dan menyuruh Ziyad untuk berdiri di
sampingnya.
"Saudara-saudara sekalian, sungguh aku sudah mengenal siapa Ziyad ini. Tetapi, siapa di
antara kalian yang memiliki bukti, silakan ajukan!" kata Mu'awiyah kepada para hadirin.
Semua yang hadir berdiri seraya memberikan kesaksian bahwa Ziyad adalah putera Abu Sufyan. Oleh Mu'awiyah ia lalu diangkat sebagai penguasa Kufah merangkap Bashrah.
Pada hari penobatan Ziyad sebagai penguasa kedua wilayah tersebut diadakan upacara arak-arakan
yang cukup meriah. Seorang lelaki buta dari suku Bani Makhzum yang biasa dipanggil
Abul Urban ikut menonton di pinggir jalan.
"Siapa yang diangkat sebagai penguasa kali ini?" tanya Abul Urban kepada seseorang di
sebelahnya.
"Ziyad bin Abu Sufyan," jawabnya.
"Apa? Setahuku Abu Sufyan tidak punya putera bernama Ziyad," kata Abul Urban.
"Jadi, Ziyad siapa?" tanya orang itu.
"Sungguh banyak hal yang telah dirusak Allah, banyak rumah yang telah dirobohkan-Nya, dan
banyak budak yang telah dikembalikan-Nya kepada tuan-tuannya," jawab Abul Urban.
Seorang mata-mata kerajaan kebetulan mendengar ucapan Abul Urban tersebut. Ia lalu
melaporkannya kepada Mu'awiyah. Khalifah ini segera mengirim seorang kurir membawa
sepucuk surat berisi:
"Celaka kamu oleh ibumu. Setibanya suratku ini potonglah lidah laki-laki buta dan suku Bani
Makhzum itu jika ia berani mengatakan lagi kalau kamu bukan putera Abu Sufyan."
Ketika si kurir hendak mohon diri, Ziyad menitipkan uang sebanyak seribu dinar untuk
Khalifah Mu'awiyah, seraya berpesan:
"Sampaikan salamku kepadanya. Katakan kepadanya, aku baru bisa mengirim uang sejumlah
ini. Gunakan lebih dahulu! Kali lain aku akan mengiriminya lagi."
Dengan ditemani seorang pengawal, esoknya Ziyad menemui laki-laki tunanetra dari Bani
Makhzum itu.
Setelah mengucapkan salam, pengawal bertanya:
"Siapa orang yang bersamaku ini?"
"Dia pasti Ziyad bin Abu Sufyan," jawabnya dengan tegas.
Sepeninggal kedua tamunya, laki-laki tunanetra dari suku Bani Makhzum itu menangis seraya
berkata,
"Demi Allah, aku mengenal persis siapa Abu Sufyan."
Sumber: Muhadharat al-Asibba, al-Raghib al-Ashfahani
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
dirinya satu-satunya lelaki yang menghamili wanita itu. Jadi dia ayah Ziyad.
Suatu hari Khalifah Mu'awiyah naik ke atas mimbar, dan menyuruh Ziyad untuk berdiri di
sampingnya.
"Saudara-saudara sekalian, sungguh aku sudah mengenal siapa Ziyad ini. Tetapi, siapa di
antara kalian yang memiliki bukti, silakan ajukan!" kata Mu'awiyah kepada para hadirin.
Semua yang hadir berdiri seraya memberikan kesaksian bahwa Ziyad adalah putera Abu Sufyan. Oleh Mu'awiyah ia lalu diangkat sebagai penguasa Kufah merangkap Bashrah.
Pada hari penobatan Ziyad sebagai penguasa kedua wilayah tersebut diadakan upacara arak-arakan
yang cukup meriah. Seorang lelaki buta dari suku Bani Makhzum yang biasa dipanggil
Abul Urban ikut menonton di pinggir jalan.
"Siapa yang diangkat sebagai penguasa kali ini?" tanya Abul Urban kepada seseorang di
sebelahnya.
"Ziyad bin Abu Sufyan," jawabnya.
"Apa? Setahuku Abu Sufyan tidak punya putera bernama Ziyad," kata Abul Urban.
"Jadi, Ziyad siapa?" tanya orang itu.
"Sungguh banyak hal yang telah dirusak Allah, banyak rumah yang telah dirobohkan-Nya, dan
banyak budak yang telah dikembalikan-Nya kepada tuan-tuannya," jawab Abul Urban.
Seorang mata-mata kerajaan kebetulan mendengar ucapan Abul Urban tersebut. Ia lalu
melaporkannya kepada Mu'awiyah. Khalifah ini segera mengirim seorang kurir membawa
sepucuk surat berisi:
"Celaka kamu oleh ibumu. Setibanya suratku ini potonglah lidah laki-laki buta dan suku Bani
Makhzum itu jika ia berani mengatakan lagi kalau kamu bukan putera Abu Sufyan."
Ketika si kurir hendak mohon diri, Ziyad menitipkan uang sebanyak seribu dinar untuk
Khalifah Mu'awiyah, seraya berpesan:
"Sampaikan salamku kepadanya. Katakan kepadanya, aku baru bisa mengirim uang sejumlah
ini. Gunakan lebih dahulu! Kali lain aku akan mengiriminya lagi."
Dengan ditemani seorang pengawal, esoknya Ziyad menemui laki-laki tunanetra dari Bani
Makhzum itu.
Setelah mengucapkan salam, pengawal bertanya:
"Siapa orang yang bersamaku ini?"
"Dia pasti Ziyad bin Abu Sufyan," jawabnya dengan tegas.
Sepeninggal kedua tamunya, laki-laki tunanetra dari suku Bani Makhzum itu menangis seraya
berkata,
"Demi Allah, aku mengenal persis siapa Abu Sufyan."
Sumber: Muhadharat al-Asibba, al-Raghib al-Ashfahani
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Harta titipan bani umayyah
Seorang lelaki yang dicurigai menyimpan harta titipan milik dinasti Bani Umayyah dilaporkan
kepada Khalifah al-Manshur. Ia segera ditangkap dan dihadapkan kepada sang Khalifah.
"Kami dengar laporan, kamu menyimpan harta titipan milik Bani Umayyah. Sekarang serahkan
kepada kami," kata Khalifah.
"Amirul Mukminin, apakah Tuan pewaris Bani Umayyah?" tanyanya.
"Tidak,''jawab sang Khalifah.
"Atau, mereka sudah memberi wasiat kepada Anda?"
"Juga tidak."
"Lalu mengapa Tuan meminta aku menyerahkan harta yang ada di tanganku?"
Sejenak Khalifah al-Manshur menunduk tanda ia sedang berpikir. Kemudian sambil
mengangkat kepala ia beujar:
"Sesungguhnya para pemimpin dinasti Bani Umayyah suka berlaku zaiim kepada kaum muslimin
waktu itu. Selaku khalifah, kami berhak mengurus hak mereka. Jadi, kami bermaksud
mengambil hak mereka, lalu kami simpan ke dalam kas negara."
"Tuan perlu mengajukan bukti yang adil bahwa harta milik Bani Umayyah yang ada padaku
adalah milik kaum muslimin yang dirampas secara tidak sah. Sebab, boleh jadi ini adalah murni
milik mereka sendiri."
"Kamu benar. Kamu memang berhak atas harta itu," kata sang Khalifah.
"Terima kasih atas pengertian Tuan, Amirul Mukminin."
"Sekarang apa keperluanmu?"
"Aku ingin Tuan berkenan mempertemukan aku dengan orang yang melaporkan masalah ini
kepadamu. Aku merasa penasaran ingin mengetahuinya."
Permintaan tersebut dikabulkan oleh Khalifah al-Manshur. Begitu dipertemukan, akhirnya
jelas bahwa orang yang melaporkan itu adalah budak lelakinya sendiri yang telah cukup lama
menghilang, tetapi ia masih ingat dan mengenalinya.
"Dia ini budakku, Amirul Mukminin," katanya, "Setelah mencuri uangku tiga ribu dinar, ia
minggat. Dan, mungkin karena takut aku mencarinya, ia kemudian melaporkan aku kepada tuan
yang bukan-bukan."
Setelah dimintai penjelasan dan ditakut-takuti oleh Khalifah al-Manshur, akhirnya budak itu
mengakui semua perbuatannya yang tercela tersebut.
"Kami minta kamu memaafkannya," kata Khalifah.
"Sudah aku maafkan. Bahkan, aku memerdekakan dia. Selain mengikhlaskan uang tiga ribu
dinar yang telah ia curi, aku juga ingin memberinya tiga ribu dinar lagi," katanya sambil
menyerahkan sebuah bungkusan. Kemudian ia pun beranjak pergi.
Khalifah al-Manshur merasa kagum atas sikap warganya itu seraya berkata,
"Sungguh luar biasa dia!"
Sumber: al-Mustajad min Fa'alat al-Ajwad, at-Tanukhi
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
kepada Khalifah al-Manshur. Ia segera ditangkap dan dihadapkan kepada sang Khalifah.
"Kami dengar laporan, kamu menyimpan harta titipan milik Bani Umayyah. Sekarang serahkan
kepada kami," kata Khalifah.
"Amirul Mukminin, apakah Tuan pewaris Bani Umayyah?" tanyanya.
"Tidak,''jawab sang Khalifah.
"Atau, mereka sudah memberi wasiat kepada Anda?"
"Juga tidak."
"Lalu mengapa Tuan meminta aku menyerahkan harta yang ada di tanganku?"
Sejenak Khalifah al-Manshur menunduk tanda ia sedang berpikir. Kemudian sambil
mengangkat kepala ia beujar:
"Sesungguhnya para pemimpin dinasti Bani Umayyah suka berlaku zaiim kepada kaum muslimin
waktu itu. Selaku khalifah, kami berhak mengurus hak mereka. Jadi, kami bermaksud
mengambil hak mereka, lalu kami simpan ke dalam kas negara."
"Tuan perlu mengajukan bukti yang adil bahwa harta milik Bani Umayyah yang ada padaku
adalah milik kaum muslimin yang dirampas secara tidak sah. Sebab, boleh jadi ini adalah murni
milik mereka sendiri."
"Kamu benar. Kamu memang berhak atas harta itu," kata sang Khalifah.
"Terima kasih atas pengertian Tuan, Amirul Mukminin."
"Sekarang apa keperluanmu?"
"Aku ingin Tuan berkenan mempertemukan aku dengan orang yang melaporkan masalah ini
kepadamu. Aku merasa penasaran ingin mengetahuinya."
Permintaan tersebut dikabulkan oleh Khalifah al-Manshur. Begitu dipertemukan, akhirnya
jelas bahwa orang yang melaporkan itu adalah budak lelakinya sendiri yang telah cukup lama
menghilang, tetapi ia masih ingat dan mengenalinya.
"Dia ini budakku, Amirul Mukminin," katanya, "Setelah mencuri uangku tiga ribu dinar, ia
minggat. Dan, mungkin karena takut aku mencarinya, ia kemudian melaporkan aku kepada tuan
yang bukan-bukan."
Setelah dimintai penjelasan dan ditakut-takuti oleh Khalifah al-Manshur, akhirnya budak itu
mengakui semua perbuatannya yang tercela tersebut.
"Kami minta kamu memaafkannya," kata Khalifah.
"Sudah aku maafkan. Bahkan, aku memerdekakan dia. Selain mengikhlaskan uang tiga ribu
dinar yang telah ia curi, aku juga ingin memberinya tiga ribu dinar lagi," katanya sambil
menyerahkan sebuah bungkusan. Kemudian ia pun beranjak pergi.
Khalifah al-Manshur merasa kagum atas sikap warganya itu seraya berkata,
"Sungguh luar biasa dia!"
Sumber: al-Mustajad min Fa'alat al-Ajwad, at-Tanukhi
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Kamis, 23 April 2009
Wanita pemerah susu dan anak gadisnya.
Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin bersama
seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat rajin
beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi,
selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah
banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.
Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari
dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling,
sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil
dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum
tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya
mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.
"Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup
untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi," keluh wanita itu kepada anaknya.
Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, "Ibu, tidak usah
disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita
mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi."
"Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana
kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?"
"Jangan, Bu!" gadis itu melarang. "Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik
kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka
tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar.
Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati."
Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan
percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.
"Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!" kata janda itu kepada anaknya. "Saat ini beliau
sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita
ini?"
Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan
lembut dan berkata, "Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang.
Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai
kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah."
Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum
dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya
terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.
Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah
susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud menikahkan
putranya dengan gadis jujur itu.
Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah
suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat rajin
beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi,
selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah
banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.
Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari
dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling,
sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil
dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum
tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya
mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.
"Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup
untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi," keluh wanita itu kepada anaknya.
Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, "Ibu, tidak usah
disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita
mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi."
"Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana
kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?"
"Jangan, Bu!" gadis itu melarang. "Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik
kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka
tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar.
Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati."
Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan
percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.
"Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!" kata janda itu kepada anaknya. "Saat ini beliau
sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita
ini?"
Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan
lembut dan berkata, "Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang.
Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai
kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah."
Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum
dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya
terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.
Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah
susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud menikahkan
putranya dengan gadis jujur itu.
Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah
suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Abu Nawas dan terompa ajaib
Seketika itu juga Abu Nawas menyadari apa yang terjadi. Ia lalu menjelaskan kejadian yang
sebenarnya dari awal hingga akhir. Orang-orang pun percaya pada penuturan Abu Nawas.
Sebab, selama ini Abu Nawas dikenal sebagai orang yang jujur dan berbudi pekerti baik.
Setelah orang kampung meninggalkan rumahnya, Abu Nawas pun bermaksud untuk
mengembalikan terompah ajaib itu kepada pedagangnya di pasar. Setelah berpamitan pada
istrinya, ia segera pergi ke pasar untuk menemui si pedagang terompah tersebut. Tak lama
kemudian, sampailah ia di pasar dan menemukan pedagang tersebut.
"Assalamu'alaikum!, ucap Abu Nawas memberi salam.
"Wa'alaikumussalam," jawab si pedagang, "Ternyata Engkau Tuan, bagaimana kabar Anda?"
"Kabar jelek. Aku selalu ditimpa kemalangan," jawab Abu Nawas.
"Ditimpa kemalangan bagaimana?" tanya pedagang itu penasaran.
"Gara-gara terompah ini, aku terus-menerus ditimpa kemalangan. Padahal, dulu Engkau
mengatakan bahwa terompah ini bisa mendatangkan keberuntungan. Aku bisa menjadi orang
terkenal dan kaya, tetapi mana buktinya? Malah aku sering kena marah orang kampung karena
terompah ini."
Kemudian ia menceritakan beberapa kejadian yang menimpanya.
"Seingat saya, saya tidak pernah mengatakan seperti itu tuan?" sergah si pedagang tua itu.
"Saya mengatakan bahwa bila Tuan mulanya orang yang tidak punya, maka dengan
membelinya, Tuan akan menjadi orang yang punya. Buktinya sekarang Tuan telah mempunyai
terompah ini dan dikenal oleh orang banyak karena memilikinya."
Mendengar penuturan pedagang itu, Abu Nawas hanya bisa diam saja. Ia menyadari bahwa
dirinya telah salah tafsir. "Tapi…tapi…mengapa terompah ini Engkau katakan terompah
ajaib?" tanya Abu Nawas kemudian.
"Oh, itu?" pedagang tersebut menjawab, "Sebab merek terompah itu adalah Ajaib,
sebagaimana dinamakan oleh pembuatnya. Jadi, pantaslah bila saya menyebutnya terompah
ajaib, sebagaimana kita menyebut ikan ikan mas. Sebab ikan itu berwarna keemasan."
Sekali lagi Abu Nawas tidak bisa berkata apa-apa mendengar penuturan pedagang itu. Lantas
ia mohon diri begitu saja. "Tapi, tunggu tuan!" cegah pedagang itu ketika melihat Abu Nawas
bergegas akan pergi.
"Saya ingin mengatakan sesuatu kepada tuan."Tuan ada sedikit pun rasa percaya bahwa
sesuatu selain Allah itu bisa mendatangkan kekayaan atau keberuntungan atau yang lainnya.
Sebab, percaya pada sesuatu selain Allah itu bisa membuat kita syirik dan mendapatkan
kesusahan baik di dunia maupun di akhirat kelak, buktinya sebagaiman tuan alami. Oleh
karena itu, segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum semuanya
terlambat. Sebab, bagaimana pun juga syirik seperti ini jarang sekali bisa kita sadari, kecuali
hanya hamba-hamba Allah yang selalu berserah diri kepada-Nya."
Mendengar penuturan seperti itu, Abu Nawas baru menyadari kesalahannya. Ternyata banyak
sekali hal-hal yang bisa membawa kepada perbuatan yang dimurkai Allah. Mulai saat itulah ia
sangat berhati-hati kepada hal-hal yang (kadang-kadang tanpa disadari) akan menjerumuskan
kita pada perbuatan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
sebenarnya dari awal hingga akhir. Orang-orang pun percaya pada penuturan Abu Nawas.
Sebab, selama ini Abu Nawas dikenal sebagai orang yang jujur dan berbudi pekerti baik.
Setelah orang kampung meninggalkan rumahnya, Abu Nawas pun bermaksud untuk
mengembalikan terompah ajaib itu kepada pedagangnya di pasar. Setelah berpamitan pada
istrinya, ia segera pergi ke pasar untuk menemui si pedagang terompah tersebut. Tak lama
kemudian, sampailah ia di pasar dan menemukan pedagang tersebut.
"Assalamu'alaikum!, ucap Abu Nawas memberi salam.
"Wa'alaikumussalam," jawab si pedagang, "Ternyata Engkau Tuan, bagaimana kabar Anda?"
"Kabar jelek. Aku selalu ditimpa kemalangan," jawab Abu Nawas.
"Ditimpa kemalangan bagaimana?" tanya pedagang itu penasaran.
"Gara-gara terompah ini, aku terus-menerus ditimpa kemalangan. Padahal, dulu Engkau
mengatakan bahwa terompah ini bisa mendatangkan keberuntungan. Aku bisa menjadi orang
terkenal dan kaya, tetapi mana buktinya? Malah aku sering kena marah orang kampung karena
terompah ini."
Kemudian ia menceritakan beberapa kejadian yang menimpanya.
"Seingat saya, saya tidak pernah mengatakan seperti itu tuan?" sergah si pedagang tua itu.
"Saya mengatakan bahwa bila Tuan mulanya orang yang tidak punya, maka dengan
membelinya, Tuan akan menjadi orang yang punya. Buktinya sekarang Tuan telah mempunyai
terompah ini dan dikenal oleh orang banyak karena memilikinya."
Mendengar penuturan pedagang itu, Abu Nawas hanya bisa diam saja. Ia menyadari bahwa
dirinya telah salah tafsir. "Tapi…tapi…mengapa terompah ini Engkau katakan terompah
ajaib?" tanya Abu Nawas kemudian.
"Oh, itu?" pedagang tersebut menjawab, "Sebab merek terompah itu adalah Ajaib,
sebagaimana dinamakan oleh pembuatnya. Jadi, pantaslah bila saya menyebutnya terompah
ajaib, sebagaimana kita menyebut ikan ikan mas. Sebab ikan itu berwarna keemasan."
Sekali lagi Abu Nawas tidak bisa berkata apa-apa mendengar penuturan pedagang itu. Lantas
ia mohon diri begitu saja. "Tapi, tunggu tuan!" cegah pedagang itu ketika melihat Abu Nawas
bergegas akan pergi.
"Saya ingin mengatakan sesuatu kepada tuan."Tuan ada sedikit pun rasa percaya bahwa
sesuatu selain Allah itu bisa mendatangkan kekayaan atau keberuntungan atau yang lainnya.
Sebab, percaya pada sesuatu selain Allah itu bisa membuat kita syirik dan mendapatkan
kesusahan baik di dunia maupun di akhirat kelak, buktinya sebagaiman tuan alami. Oleh
karena itu, segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum semuanya
terlambat. Sebab, bagaimana pun juga syirik seperti ini jarang sekali bisa kita sadari, kecuali
hanya hamba-hamba Allah yang selalu berserah diri kepada-Nya."
Mendengar penuturan seperti itu, Abu Nawas baru menyadari kesalahannya. Ternyata banyak
sekali hal-hal yang bisa membawa kepada perbuatan yang dimurkai Allah. Mulai saat itulah ia
sangat berhati-hati kepada hal-hal yang (kadang-kadang tanpa disadari) akan menjerumuskan
kita pada perbuatan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Nasehat bagi penguasa
Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng memang perlu keberanian yang
tinggi, sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan, mendekam dalam
penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa melayang. Karena itu, tidaklah
mengherankan ketika pada suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh
seorang sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam pun menjawab, "Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng."
Demikian sabda Tasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang dikisahkan dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan
penuturan Abu Sa'id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab al-
Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani melakukannya, yakni
mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.
Di antara yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus al-Yamani. Ia
adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika
Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah
guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah
seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang,
ternyata ketika itu tak seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
masih hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan
dengan seorang tabi'in.
Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap,
Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis ketika akan menginjak permadani yang
dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung saja nyelonong masuk ke dalam tanpa
mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya.
Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, "Assalamu'alaikum," langsung duduk
di samping khalifah seraya bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"
Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau murka bukan main.
Hampir saja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus.
Melihat gelagat yang demikian, buru-buru Thawus berkata, "Ingat, Anda berada dalam
wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena
itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk
seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku lakukan?" Thawus balik bertanya.
Dengan geram khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan permadaniku.
Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga
tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar
dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku.
Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkannya
lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi
murka kepadaku lantaran itu."
"Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu
pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan istrinya
karena syahwat atau tangan anak-anaknya karena kasih sayang."
"Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata
amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku enggan
untuk berbohong."
"Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran Allah
memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan nama semata, seperti ya
Daud, ya Yahya, ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti
Abu Lahab...."
"Aku duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu
pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang
duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."
Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di
dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia berkata, "Benar sekali apa yang Anda
katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!"
"Kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu berkata dalam sebuah nasehatnya," jawab
Thawus, "Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa
yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya."
Mendengar jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak
mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin harus
bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh
rakyatnya. Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang
penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun
memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan nasehat-nasehatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
tinggi, sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan, mendekam dalam
penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa melayang. Karena itu, tidaklah
mengherankan ketika pada suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh
seorang sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam pun menjawab, "Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng."
Demikian sabda Tasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang dikisahkan dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan
penuturan Abu Sa'id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab al-
Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani melakukannya, yakni
mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.
Di antara yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus al-Yamani. Ia
adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika
Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah
guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah
seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang,
ternyata ketika itu tak seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
masih hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan
dengan seorang tabi'in.
Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap,
Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis ketika akan menginjak permadani yang
dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung saja nyelonong masuk ke dalam tanpa
mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya.
Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, "Assalamu'alaikum," langsung duduk
di samping khalifah seraya bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"
Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau murka bukan main.
Hampir saja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus.
Melihat gelagat yang demikian, buru-buru Thawus berkata, "Ingat, Anda berada dalam
wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena
itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk
seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku lakukan?" Thawus balik bertanya.
Dengan geram khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan permadaniku.
Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga
tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar
dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku.
Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkannya
lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi
murka kepadaku lantaran itu."
"Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu
pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan istrinya
karena syahwat atau tangan anak-anaknya karena kasih sayang."
"Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata
amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku enggan
untuk berbohong."
"Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran Allah
memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan nama semata, seperti ya
Daud, ya Yahya, ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti
Abu Lahab...."
"Aku duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu
pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang
duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."
Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di
dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia berkata, "Benar sekali apa yang Anda
katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!"
"Kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu berkata dalam sebuah nasehatnya," jawab
Thawus, "Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa
yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya."
Mendengar jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak
mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin harus
bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh
rakyatnya. Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang
penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun
memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan nasehat-nasehatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Nasehat yang jitu
Pada suatu hari Ibrahim bin Adham didatangi oleh seorang lelaki yang gemar melakukan
maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi'ah. Ia meminta nasehat kepada Ibrahim
agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya.
Ia berkata, "Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong
berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!"
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, "Jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang
kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa."
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, "Apa saja syaratsyarat
itu, ya Aba Ishak?"
"Syarat pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan
rezeki Allah," ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, "Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala
sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?"
"Benar," jawab Ibrahim dengan tegas. "Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah
engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan
melanggar perintah-perintahnya?"
"Baiklah," jawab Jahdar tampak menyerah. "Kemudian apa syarat yang kedua?"
"Kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya," kata Ibrahim lebih
tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. "Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku
harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?"
"Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas
memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?" tanya
Ibrahim.
"Kau benar Aba Ishak," ucap Jahdar kemudian. "Lalu apa syarat ketiga?" tanya Jahdar
dengan penasaran.
"Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan
tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi dari-Nya."
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. "Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini? Mana
mungkin Allah tidak melihat kita?"
"Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-
Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau
melakukan semua itu?" tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan
terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi'ah tidak berkutik dan
membenarkannya.
"Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?"
"Jika malaikat maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum
mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh."
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama
ini. Ia kemudian berkata, "Tidak mungkin... tidak mungkin semua itu aku lakukan."
"Wahai hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara
apa kau dapat menghindari murka Allah?"
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir.
Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
"Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat nanti,
janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!"
Lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh
penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, "Cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau
teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan
beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah."
Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia
benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah
dengan baik dan khusyu'.
Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu
mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi
pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena ulah gubernur
yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutny, Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi'ah untuk menghadap. Setelah ia
menghadap, Ibrahim pun berkata, "Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah
mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan
engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku."
Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, "Wahai Aba Ishak,
sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik
untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang
diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu terjadi?"
Ibrahim bin Adham menjawab, "Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat
memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana."
Betapa kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata,
"Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah sebuah
wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan gerombolanku.
Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas
segala rahmat-Nya."
Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi'ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas
mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan. Pada
akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga
akhir hayatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi'ah. Ia meminta nasehat kepada Ibrahim
agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya.
Ia berkata, "Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong
berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!"
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, "Jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang
kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa."
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, "Apa saja syaratsyarat
itu, ya Aba Ishak?"
"Syarat pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan
rezeki Allah," ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, "Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala
sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?"
"Benar," jawab Ibrahim dengan tegas. "Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah
engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan
melanggar perintah-perintahnya?"
"Baiklah," jawab Jahdar tampak menyerah. "Kemudian apa syarat yang kedua?"
"Kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya," kata Ibrahim lebih
tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. "Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku
harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?"
"Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas
memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?" tanya
Ibrahim.
"Kau benar Aba Ishak," ucap Jahdar kemudian. "Lalu apa syarat ketiga?" tanya Jahdar
dengan penasaran.
"Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan
tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi dari-Nya."
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. "Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini? Mana
mungkin Allah tidak melihat kita?"
"Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-
Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau
melakukan semua itu?" tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan
terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi'ah tidak berkutik dan
membenarkannya.
"Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?"
"Jika malaikat maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum
mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh."
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama
ini. Ia kemudian berkata, "Tidak mungkin... tidak mungkin semua itu aku lakukan."
"Wahai hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara
apa kau dapat menghindari murka Allah?"
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir.
Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
"Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat nanti,
janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!"
Lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh
penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, "Cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau
teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan
beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah."
Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia
benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah
dengan baik dan khusyu'.
Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu
mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi
pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena ulah gubernur
yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutny, Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi'ah untuk menghadap. Setelah ia
menghadap, Ibrahim pun berkata, "Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah
mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan
engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku."
Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, "Wahai Aba Ishak,
sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik
untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang
diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu terjadi?"
Ibrahim bin Adham menjawab, "Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat
memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana."
Betapa kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata,
"Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah sebuah
wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan gerombolanku.
Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas
segala rahmat-Nya."
Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi'ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas
mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan. Pada
akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga
akhir hayatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Tegakkan sholat PHK didapat
Berawal dari sebuah perkenalannya dengan seorang pemuda muslim Evi Cristiani yang kini
sudah menjadi seorang muslimah yang patut dicontoh. Perilaku keislamannya benar-benar
diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari walau begitu berat cobaan yang dihadapinya.
Sekali syahadat sebagai kesaksian sakral sudah ia ucapkan maka pantang baginya untuk surut
menegakkan kalimat Allah dalam kalbunya. Sudah pasti orang tuanya menentang
keinginannya, Evi pun harus hijrah ke tempat kost agar ibadahnya lancar ia kerjakan.
Belum lagi beres masalah dengan orang tuanya lantaran ia masuk Islam, Evi harus menghadapi
masalah di tempat kerjanya. Gadis berusia 27 tahun bekerja di sebuah biro perjalanan yang
mayoritas karyawannya beragama non muslim. Profesionalisme juga tidak dijalankan di sana
karena sikap sebagian besar karyawannya masih memakai sentimen agama.
Hasilnya Evi jadi bulan-bulanan para atasan karena dianggap tidak sejalan dengan pola pikir
mereka. Ada acara rutin tiap dua pekan sekali yang wajib diikuti oleh karyawan bagian Evi
bertugas. Acara yang sarat dengan unsur maksiat itu adalah mengunjungi bar-bar dan
bersenang-senang hingga mabuk.
Dulu ia tidak pernah lewatkan acara itu tapi sejak ia masuk Islam jelas acara model itu ia
tolak mentah-mentah. Segala alasan ia cari agar ia bisa terbebas dari dosa itu. Sampai
akhirnya atasannya jenuh dan tidak akan mengajak Evi hura-hura lagi. Beres dengan yang
satu itu muncullah masalah lain yang tak kalah menyakitkan
Ketika seorang kawannya pulang dari tugas ke eropa, ia membawa oleh-oleh yang dibagikan ke
rekan-rekannya kantornya tak terkecualiEvi. Oleh-oleh berupa kue itu tak disangka
mengandung daging babi. Lantaran Evi tidak tahu ia makan segigit kue itu lalu kawannya
punberkata,"Evi itu kan ada babinya kok dimakan juga"
Mendengar hal itu Evi pun lari ke kamar mandi dan memuntahkan sebisa-bisa makanan dalam
mulutnya sambil beristighfar tak henti-henti. Kawannya pun ia tegur, tidak keras tapi tegas.
Si kawan merasa tidak salah dan berkelit. Evi menghentikan debatitu dan coba menyabarkan
dirinya.
Yang diingatnya hanya kekuatan Allah agar bisa memberinya kekuatan untuk dapat bertahan
dari cobaan ini. Sejak itulah kebencian mulai tumbuh subur di antara rekan sejawatnya.
Menanggapi hal tersebut atasannya segera memindahkannya ke bagian lain.
Lagi-lagi di bagian yang baru Evi dihujam oleh fitnah yang bertubi tubi. Manajernya yang
baru justru yang menjadi momok lahirnya fitnahan tersebut. Cobaan demi cobaan itu
dipuncaki dengan dipanggilnya ia oleh pihak SDM.
Ia jelaskan bahwa ia harus menjalankan kewajibannya sebagai muslim yaitu shalat dan
berusaha menghindari kemaksiatan sekeras mungkin.Jalan keluar tidak ketemu dan PHK jadi
solusi yang terbaik.Evi terima dengan ikhlas,"rejekiku sudah diatur olehNya," gumam Evi
mantap sambil keluar kantor dengan perasaan lega.
Semoga Allah Swt memberikan kekuatan lahir bathin buat sdri. Evi yang telah mendapatkan
Hidayah di jalan Allah. Amin
Penulis Amma
sudah menjadi seorang muslimah yang patut dicontoh. Perilaku keislamannya benar-benar
diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari walau begitu berat cobaan yang dihadapinya.
Sekali syahadat sebagai kesaksian sakral sudah ia ucapkan maka pantang baginya untuk surut
menegakkan kalimat Allah dalam kalbunya. Sudah pasti orang tuanya menentang
keinginannya, Evi pun harus hijrah ke tempat kost agar ibadahnya lancar ia kerjakan.
Belum lagi beres masalah dengan orang tuanya lantaran ia masuk Islam, Evi harus menghadapi
masalah di tempat kerjanya. Gadis berusia 27 tahun bekerja di sebuah biro perjalanan yang
mayoritas karyawannya beragama non muslim. Profesionalisme juga tidak dijalankan di sana
karena sikap sebagian besar karyawannya masih memakai sentimen agama.
Hasilnya Evi jadi bulan-bulanan para atasan karena dianggap tidak sejalan dengan pola pikir
mereka. Ada acara rutin tiap dua pekan sekali yang wajib diikuti oleh karyawan bagian Evi
bertugas. Acara yang sarat dengan unsur maksiat itu adalah mengunjungi bar-bar dan
bersenang-senang hingga mabuk.
Dulu ia tidak pernah lewatkan acara itu tapi sejak ia masuk Islam jelas acara model itu ia
tolak mentah-mentah. Segala alasan ia cari agar ia bisa terbebas dari dosa itu. Sampai
akhirnya atasannya jenuh dan tidak akan mengajak Evi hura-hura lagi. Beres dengan yang
satu itu muncullah masalah lain yang tak kalah menyakitkan
Ketika seorang kawannya pulang dari tugas ke eropa, ia membawa oleh-oleh yang dibagikan ke
rekan-rekannya kantornya tak terkecualiEvi. Oleh-oleh berupa kue itu tak disangka
mengandung daging babi. Lantaran Evi tidak tahu ia makan segigit kue itu lalu kawannya
punberkata,"Evi itu kan ada babinya kok dimakan juga"
Mendengar hal itu Evi pun lari ke kamar mandi dan memuntahkan sebisa-bisa makanan dalam
mulutnya sambil beristighfar tak henti-henti. Kawannya pun ia tegur, tidak keras tapi tegas.
Si kawan merasa tidak salah dan berkelit. Evi menghentikan debatitu dan coba menyabarkan
dirinya.
Yang diingatnya hanya kekuatan Allah agar bisa memberinya kekuatan untuk dapat bertahan
dari cobaan ini. Sejak itulah kebencian mulai tumbuh subur di antara rekan sejawatnya.
Menanggapi hal tersebut atasannya segera memindahkannya ke bagian lain.
Lagi-lagi di bagian yang baru Evi dihujam oleh fitnah yang bertubi tubi. Manajernya yang
baru justru yang menjadi momok lahirnya fitnahan tersebut. Cobaan demi cobaan itu
dipuncaki dengan dipanggilnya ia oleh pihak SDM.
Ia jelaskan bahwa ia harus menjalankan kewajibannya sebagai muslim yaitu shalat dan
berusaha menghindari kemaksiatan sekeras mungkin.Jalan keluar tidak ketemu dan PHK jadi
solusi yang terbaik.Evi terima dengan ikhlas,"rejekiku sudah diatur olehNya," gumam Evi
mantap sambil keluar kantor dengan perasaan lega.
Semoga Allah Swt memberikan kekuatan lahir bathin buat sdri. Evi yang telah mendapatkan
Hidayah di jalan Allah. Amin
Penulis Amma
Kalung anisa
Ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia Lima tahun. Pada suatu sore,
Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika sedang menunggu giliran
membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan,
tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik.
Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya. Tapi... Dia tahu,
pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia
sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli.
Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.
Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya.
"Ibu, bolehkah Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... "
Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp
15,000.
Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia
bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten...
"Oke ... Anisa, kamu boleh memiliki Kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi.
Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu
untuk minggu depan. Setuju ?"
Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.
"Terimakasih..., Ibu"
Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu
membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah
lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.
Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab,kata ibunya, jika basah,
kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...
Setiap malam sebelum tidur, ayah Anisa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu
malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita,
Ayah bertanya "Anisa..., Anisa sayang Enggak sama Ayah ?"
"Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !"
"Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu...
"Yah..., jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari nenek... ! Itu
kesayanganku juga
"Ya sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari kamar
Anisa.
Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi,
"Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?"
"Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah?".
"Kalau begitu, berikan pada Ayah Kalung mutiaramu."
"Jangan Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.."Kata Anisa seraya
menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.
Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Anisa sedang duduk di atas
tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua
tangannya tergenggam di atas pangkuan. air mata membasahi pipinya..."Ada apa Anisa, kenapa
Anisa ?" Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangannya.
Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya" Kalau Ayah mau...ambillah kalung
Anisa"
Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu
dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk
kalung mutiara putih...sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Anisa..."Anisa... ini
untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat
lehermu menjadi hijau"
Ya..., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara
imitasi Anisa.
Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena
Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita
seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat
berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap
ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan
menggantinya dengan yang lebih baik.
Sumber : Daarut tauhiid
Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika sedang menunggu giliran
membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan,
tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik.
Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya. Tapi... Dia tahu,
pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia
sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli.
Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.
Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya.
"Ibu, bolehkah Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... "
Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp
15,000.
Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia
bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten...
"Oke ... Anisa, kamu boleh memiliki Kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi.
Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu
untuk minggu depan. Setuju ?"
Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.
"Terimakasih..., Ibu"
Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu
membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah
lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.
Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab,kata ibunya, jika basah,
kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...
Setiap malam sebelum tidur, ayah Anisa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu
malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita,
Ayah bertanya "Anisa..., Anisa sayang Enggak sama Ayah ?"
"Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !"
"Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu...
"Yah..., jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari nenek... ! Itu
kesayanganku juga
"Ya sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari kamar
Anisa.
Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi,
"Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?"
"Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah?".
"Kalau begitu, berikan pada Ayah Kalung mutiaramu."
"Jangan Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.."Kata Anisa seraya
menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.
Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Anisa sedang duduk di atas
tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua
tangannya tergenggam di atas pangkuan. air mata membasahi pipinya..."Ada apa Anisa, kenapa
Anisa ?" Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangannya.
Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya" Kalau Ayah mau...ambillah kalung
Anisa"
Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu
dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk
kalung mutiara putih...sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Anisa..."Anisa... ini
untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat
lehermu menjadi hijau"
Ya..., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara
imitasi Anisa.
Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena
Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita
seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat
berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap
ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan
menggantinya dengan yang lebih baik.
Sumber : Daarut tauhiid
Tidur dan kematian
Namaku Arthur Alison, seorang profesor yang menjabat Kepala Jurusan Teknik Elektro
Universitas London. Sebagai orang eksak, bagiku semua hal bisa dikatakan benar jika masuk
akal dan sesuai rasio. Karena itulah, pada awalnya agama bagiku tak lebih dari objek studi.
Sampai akhirnya aku menemukan bahwa Al Quran, mampu menjangkau pemikiran manusia.
Bahkan lebih dari itu. Maka aku pun memeluk Islam.
Itu bermula saat aku diminta tampil untuk berbicara tentang metode kedokteran spiritual.
Undangan itu sampai kepadaku karena selama beberapa tahun, aku mengetuai Kelompok
Studi Spiritual dan Psikologis Inggris. Saat itu, aku sebenarnya telah mengenal Islam melalui
sejumlah studi tentang agama-agama.
Pada September 1985 itulah, aku diundang untuk mengikuti Konferensi Islam Internasional
tentang 'Keaslian Metode Pengobatan dalam Al Quran'di Kairo. Pada acara itu, aku
mempresentasikan makalah tentang 'Terapi dengan Metode Spiritual dan Psikologis dalam Al
Quran'.
Makalah itu merupakan pembanding atas makalah lain tentang 'Tidur dan Kematian', yang
bisa dibilang tafsir medis atas Quran surat Az Zumar ayat 42 yang disampaikan ilmuwan
Mesir, Dr. Mohammed Yahya Sharafi.
Fakta-fakta yang dikemukakan Sharafi atas ayat yang artinya, "Allah memegang jiwa (orang)
ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia
tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain
sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir," telah membukakan mata hatiku terhadap Islam.
Secara parapsikologis, seperti dijelaskan Al Quran, orang tidur dan orang mati adalah dua
fenomena yang sama. Yaitu dimana ruh terpisah dari jasad. Bedanya, pada orang tidur, ruh
dengan kekuasaan Allah bisa kembali kepada jasad saat orang itu terjaga. Sedangkan pada
orang mati, tidak.
Ayat itu merupakan penjelasan, mengapa setiap orang yang bermimpi sadar dan ingat bahwa
ia telah bermimpi. Ia bisa mengingat mimpinya, padahal saat bermimpi ia sedang tidur.
Al Quran surat Az Zumar ayat 42 ini juga menjadi penjelasan atas orang yang mengalami
koma. Secara fisik, orang yang koma tak ada bedanya dengan orang mati. Tapi ia tak dapat
dinyatakan mati, karena secara psikis ada suatu kesadaran yang masih hidup.
"Bagaimana Al Quran yang diturunkan 15 abad silam, bisa menjelaskan sebuah fenomena yang
oleh teori parapsikologis baru bisa dikonsepsikan pada abad ini?" Jawaban atas pertanyaan
inilah yang akhirnya meyakinkan aku untuk memeluk Islam.
Selepas sesi pemaparan kesimpulan dalam konferensi itu, disaksikan oleh Syekh Jad Al-Haq,
Dr. Mohammed Ahmady dan Dr. Mohammed Yahya Sharafi, akupun menyatakan dengan tegas
bahwa Islam adalah agama yang nyata benarnya.
Terbukti, isi Al Quran yang merupakan firman Allah pencipta manusia, sesuai dengan faktafakta
ilmiah. Kemudian dengan yakin, aku melafadzkan dua kalimat syahadat yang sudah
sangat fasih kubacakan. Sejak itu aku pun menjadi seorang Muslim dan mengganti namaku
menjadi Abdullah Alison.
Sebagai Ketua Kelompok Studi Spiritual dan Psikologi Inggris, aku telah mengenal banyak
agama melalui sejumlah studi yang dilakukan. Aku mempelajari Hindu, Budha dan agama serta
kepercayaan lainnya. Entah kenapa, ketika aku mempelajari Islam, aku juga terdorong untuk
melakukan studi perbandingan dengan agama lainnya.
Walaupun baru pada saat konferensi di Mesir, aku yakin benar bahwa Islam sebuah agama
besar yang nyata perbedaannya dengan agama lain. Agama yang paling baik diantara agamaagama
lain adalah Islam. Ia cocok dengan hukum alam tentang proses kejadian manusia. Maka
hanya Islam-lah yang pantas mengarahkan jalan hidup manusia.
Aku merasakan benar, ada sesuatu yang mengontrol alam ini. Dia itulah Sang Kreator, Allah
Swt. Dari pengalaman bagaimana aku mengenal dan masuk Islam, aku pikir pendekatan ilmiah
Al Quran bisa menjadi sarana efektif untuk mendakwahkan Islam di Barat yang sangat
rasional itu.
Sumber : (Pesantren.net)
Universitas London. Sebagai orang eksak, bagiku semua hal bisa dikatakan benar jika masuk
akal dan sesuai rasio. Karena itulah, pada awalnya agama bagiku tak lebih dari objek studi.
Sampai akhirnya aku menemukan bahwa Al Quran, mampu menjangkau pemikiran manusia.
Bahkan lebih dari itu. Maka aku pun memeluk Islam.
Itu bermula saat aku diminta tampil untuk berbicara tentang metode kedokteran spiritual.
Undangan itu sampai kepadaku karena selama beberapa tahun, aku mengetuai Kelompok
Studi Spiritual dan Psikologis Inggris. Saat itu, aku sebenarnya telah mengenal Islam melalui
sejumlah studi tentang agama-agama.
Pada September 1985 itulah, aku diundang untuk mengikuti Konferensi Islam Internasional
tentang 'Keaslian Metode Pengobatan dalam Al Quran'di Kairo. Pada acara itu, aku
mempresentasikan makalah tentang 'Terapi dengan Metode Spiritual dan Psikologis dalam Al
Quran'.
Makalah itu merupakan pembanding atas makalah lain tentang 'Tidur dan Kematian', yang
bisa dibilang tafsir medis atas Quran surat Az Zumar ayat 42 yang disampaikan ilmuwan
Mesir, Dr. Mohammed Yahya Sharafi.
Fakta-fakta yang dikemukakan Sharafi atas ayat yang artinya, "Allah memegang jiwa (orang)
ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia
tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain
sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir," telah membukakan mata hatiku terhadap Islam.
Secara parapsikologis, seperti dijelaskan Al Quran, orang tidur dan orang mati adalah dua
fenomena yang sama. Yaitu dimana ruh terpisah dari jasad. Bedanya, pada orang tidur, ruh
dengan kekuasaan Allah bisa kembali kepada jasad saat orang itu terjaga. Sedangkan pada
orang mati, tidak.
Ayat itu merupakan penjelasan, mengapa setiap orang yang bermimpi sadar dan ingat bahwa
ia telah bermimpi. Ia bisa mengingat mimpinya, padahal saat bermimpi ia sedang tidur.
Al Quran surat Az Zumar ayat 42 ini juga menjadi penjelasan atas orang yang mengalami
koma. Secara fisik, orang yang koma tak ada bedanya dengan orang mati. Tapi ia tak dapat
dinyatakan mati, karena secara psikis ada suatu kesadaran yang masih hidup.
"Bagaimana Al Quran yang diturunkan 15 abad silam, bisa menjelaskan sebuah fenomena yang
oleh teori parapsikologis baru bisa dikonsepsikan pada abad ini?" Jawaban atas pertanyaan
inilah yang akhirnya meyakinkan aku untuk memeluk Islam.
Selepas sesi pemaparan kesimpulan dalam konferensi itu, disaksikan oleh Syekh Jad Al-Haq,
Dr. Mohammed Ahmady dan Dr. Mohammed Yahya Sharafi, akupun menyatakan dengan tegas
bahwa Islam adalah agama yang nyata benarnya.
Terbukti, isi Al Quran yang merupakan firman Allah pencipta manusia, sesuai dengan faktafakta
ilmiah. Kemudian dengan yakin, aku melafadzkan dua kalimat syahadat yang sudah
sangat fasih kubacakan. Sejak itu aku pun menjadi seorang Muslim dan mengganti namaku
menjadi Abdullah Alison.
Sebagai Ketua Kelompok Studi Spiritual dan Psikologi Inggris, aku telah mengenal banyak
agama melalui sejumlah studi yang dilakukan. Aku mempelajari Hindu, Budha dan agama serta
kepercayaan lainnya. Entah kenapa, ketika aku mempelajari Islam, aku juga terdorong untuk
melakukan studi perbandingan dengan agama lainnya.
Walaupun baru pada saat konferensi di Mesir, aku yakin benar bahwa Islam sebuah agama
besar yang nyata perbedaannya dengan agama lain. Agama yang paling baik diantara agamaagama
lain adalah Islam. Ia cocok dengan hukum alam tentang proses kejadian manusia. Maka
hanya Islam-lah yang pantas mengarahkan jalan hidup manusia.
Aku merasakan benar, ada sesuatu yang mengontrol alam ini. Dia itulah Sang Kreator, Allah
Swt. Dari pengalaman bagaimana aku mengenal dan masuk Islam, aku pikir pendekatan ilmiah
Al Quran bisa menjadi sarana efektif untuk mendakwahkan Islam di Barat yang sangat
rasional itu.
Sumber : (Pesantren.net)
Asal usul kumandang azan
(Riwayat : Anas r.a; Abu Dawud; Al Bukhari)
Seiring dengan berlalunya waktu, para pemeluk agama Islam yang semula sedikit, bukannya
semakin surut jumlahnya. Betapa hebatnya perjuangan yang harus dihadapi untuk
menegakkan syiar agama ini tidak membuatnya musnah. Kebenaran memang tidak dapat
dmusnahkan.
Semakin hari semakin bertambah banyak saja orang-orang yang menjadi penganutnya.
Demikian pula dengan penduduk dikota Madinah, yang merupakan salah satu pusat penyebaran
agama Islam pada masa-masa awalnya. Sudah sebagian tersebar dari penduduk yang ada
dikota itu sudah menerima Islam sebagai agamanya.
Ketika orang-orang Islam masih sedikit jumlahnya, tidaklah sulit bagi mereka untuk bisa
berkumpul bersama-sama untuk menunaikan sholat berjama` ah. Kini, hal itu tidak mudah lagi
mengingat setiap penduduk tentu mempunyai ragam kesibukan yang tidak sama. Kesibukan
yang tinggi pada setiap orang tentu mempunyai potensi terhadap kealpaan ataupun kelalaian
pada masing-masing orang untuk menunaikan sholat pada waktunya.
Dan tentunya, kalau hal ini dapat terjadi dan kemudian terus-menerus berulang, maka bisa
dipikirkan bagaimana jadinya para pemeluk Islam. Ini adalah satu persoalan yang cukup berat
yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
Pada masa itu, memang belum ada cara yang tepat untuk memanggil orang sholat. Orangorang
biasanya berkumpul dimasjid masing -masing menurut waktu dan kesempatan yang
dimilikinya. Bila sudah banyak terkumpul orang, barulah sholat jama `ah dimulai.
Atas timbulnya dinamika pemikiran diatas, maka timbul kebutuhan untuk mencari suatu cara
yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengingatkan dan memanggil orang-orang untuk
sholat tepat pada waktunya tiba.
Ada banyak pemikiran yang diusulkan. Ada sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu
sholat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa
dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang
walaupun ia berada ditempat yang jauh. Ada yang menyarankan untuk membunyikan lonceng.
Ada juga yang mengusulkan untuk meniup tanduk kambing. Pendeknya ada banyak saran yang
timbul.
Saran-saran diatas memang cukup representatif. Tapi banyak sahabat juga yang kurang
setuju bahkan ada yang terang-terangan menolaknya. Alasannya sederhana saja : itu adalah
cara-cara lama yang biasanya telah dipraktekkan oleh kaum Yahudi. Rupanya banyak sahabat
yang mengkhawatirkan image yang bisa timbul bila cara-cara dari kaum kafir digunakan. Maka
disepakatilah untuk mencari cara-cara lain.
Lantas, ada usul dari Umar r.a jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil
kaum Muslim untuk sholat pada setiap masuknya waktu sholat. Saran ini agaknya bisa
diterima oleh semua orang, Rasulullah SAW juga menyetujuinya. Sekarang yang menjadi
persoalan bagaimana itu bisa dilakukan ? Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid
r.a meriwayatkan sbb :
"Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam
tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku
dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu.
Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja.
Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa ? Aku menjawabnya,"Bahwa dengan membunyikan
lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan sholat." Orang itu berkata
lagi,"Maukah kau kuajari cara yang lebih baik ?" Dan aku menjawab " Ya !"
Lalu dia berkata lagi, dan kali ini dengan suara yang amat lantang , " Allahu Akbar,Allahu
Akbar.."
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perihal mimpi itu
kepada beliau. Dan beliau berkata,"Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping
Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan
seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama
Bilal."
Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar r.a, ia juga menceritakannya kepada Rasulullah
SAW . Nabi SAW bersyukur kepada Allah SWT atas semua ini.
Tulisan diambil dari Al-Islam Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Rasa kasih terlihat dalam mata
Sore itu adalah sore yang sangat dingin di Virginia bagian utara, berpuluh-puluh tahun yang
lalu. Janggut si orang tua dilapisi es musim dingin selagi ia menunggu tumpangan
menyeberangi sungai. Penantiannya seakan tak berakhir. Tubuhnya menjadi mati rasa dan
kaku akibat angin utara yang dingin.
Samar-samar ia mendengar irama teratur hentakan kaki kuda yang berlari mendekat di atas
jalan yang beku itu. Dengan gelisah iamengawasi beberapa penunggang kuda memutari
tikungan.
Ia membiarkan beberapa kuda lewat, tanpa berusaha untuk menarik perhatian. Lalu, satu lagi
lewat, dan satu lagi. Akhirnya, penunggang kuda yang terakhir mendekati tempat si orang tua
yang duduk seperti patung salju.
Saat yang satu ini mendekat, si orang tua menangkap mata si penunggang...dan ia pun berkata,
"Tuan, maukah anda memberikan tumpangan pada orang tua ini ke seberang ? Kelihatannya
tak ada jalan untuk berjalan kaki."
Sambil menghentikan kudanya, si penunggang menjawab, "Tentu. Naiklah." Melihat si orang
tua tak mampu mengangkat tubuhnya yang setengah membeku dari atas tanah, si penunggang
kuda turun dan menolongnya naik ke atas kuda.
Si penunggang membawa si orang tua itu bukan hanya ke seberang sungai, tapi terus ke
tempat tujuannya, yang hanya berjarak beberapa kilometer. Selagi mereka mendekati pondok
kecil yang nyaman, rasa ingin tahu si penunggang kuda atas sesuatu, mendorongnya untuk
bertanya,
"Pak, saya lihat tadi bapak membiarkan penunggang2 kuda lain lewat, tanpa berusaha meminta
tumpangan. Saya ingin tahu kenapa pada malam musim dingin seperti ini Bapak mau menunggu
dan minta tolong pada penunggang terakhir. Bagaimana kalau saya tadi menolak dan
meninggalkan bapak di sana?"
Si orang tua menurunkan tubuhnya perlahan dari kuda, memandang langsung mata si
penunggang kuda dan menjawab, "Saya sudah lama tinggal di daerah ini. Saya rasa saya cukup
kenal dengan orang."
Si orang tua melanjutkan, "Saya memandang mata penunggang yang lain, dan langsung tahu
bahwa di situ tidak ada perhatian pada keadaan saya. Pasti percuma saja saya minta
tumpangan.
Tapi waktu saya melihat matamu, kebaikan hati dan rasa kasihmu terasa jelas ada pada
dirimu. Saya tahu saat itu juga bahwa jiwamu yang lembut akan menyambut kesempatan
untuk memberi saya pertolongan pada saat saya membutuhkannya."
Komentar yang menghangatkan hati itu menyentuh si penunggang kuda dengan dalam. "Saya
berterima kasih sekali atas perkataan bapak", ia berkata pada si orang tua. "Mudah-mudahan
saya tidak akan terlalu sibuk mengurus masalah saya sendiri hingga saya gagal menanggapi
kebutuhan orang lain.."
Seraya berkata demikian, Thomas Jefferson, si penunggang kuda itu, memutar kudanya dan
melanjutkan perjalanannya menuju ke Gedung Putih.
The Sower's Seeds - Brian Cavanaugh.
Kau tak akan pernah tahu kapan kau akan memerlukan orang lain, atau kapan seseorang
memerlukanmu. Kebijakan dari seluruh hidupmu melukis sebuah citra dimatamu, yang
membantu orang lain melihat, menemukan pertolongan yang ia butuhkan, dan bahwa masih ada
keutamaan lain di dunia ini dari pada sekedar peduli dengan dirimu sendiri, yaitu
kepedulianmu pada orang lain, sahabatmu atau benar-benar orang lain.
Maka bila ada sahabat atau seseorang memerlukan perhatian atau bantuanmu, atau meminta
maaf atas satu kesalahan, itu karena ia menghormati dan menghargai kebaikan yang pasti ada
dalam jiwamu. Kau dapat menghormati juga permintaan itu, atau kau meninggalkannya di
tengah jalan sendirian.
lalu. Janggut si orang tua dilapisi es musim dingin selagi ia menunggu tumpangan
menyeberangi sungai. Penantiannya seakan tak berakhir. Tubuhnya menjadi mati rasa dan
kaku akibat angin utara yang dingin.
Samar-samar ia mendengar irama teratur hentakan kaki kuda yang berlari mendekat di atas
jalan yang beku itu. Dengan gelisah iamengawasi beberapa penunggang kuda memutari
tikungan.
Ia membiarkan beberapa kuda lewat, tanpa berusaha untuk menarik perhatian. Lalu, satu lagi
lewat, dan satu lagi. Akhirnya, penunggang kuda yang terakhir mendekati tempat si orang tua
yang duduk seperti patung salju.
Saat yang satu ini mendekat, si orang tua menangkap mata si penunggang...dan ia pun berkata,
"Tuan, maukah anda memberikan tumpangan pada orang tua ini ke seberang ? Kelihatannya
tak ada jalan untuk berjalan kaki."
Sambil menghentikan kudanya, si penunggang menjawab, "Tentu. Naiklah." Melihat si orang
tua tak mampu mengangkat tubuhnya yang setengah membeku dari atas tanah, si penunggang
kuda turun dan menolongnya naik ke atas kuda.
Si penunggang membawa si orang tua itu bukan hanya ke seberang sungai, tapi terus ke
tempat tujuannya, yang hanya berjarak beberapa kilometer. Selagi mereka mendekati pondok
kecil yang nyaman, rasa ingin tahu si penunggang kuda atas sesuatu, mendorongnya untuk
bertanya,
"Pak, saya lihat tadi bapak membiarkan penunggang2 kuda lain lewat, tanpa berusaha meminta
tumpangan. Saya ingin tahu kenapa pada malam musim dingin seperti ini Bapak mau menunggu
dan minta tolong pada penunggang terakhir. Bagaimana kalau saya tadi menolak dan
meninggalkan bapak di sana?"
Si orang tua menurunkan tubuhnya perlahan dari kuda, memandang langsung mata si
penunggang kuda dan menjawab, "Saya sudah lama tinggal di daerah ini. Saya rasa saya cukup
kenal dengan orang."
Si orang tua melanjutkan, "Saya memandang mata penunggang yang lain, dan langsung tahu
bahwa di situ tidak ada perhatian pada keadaan saya. Pasti percuma saja saya minta
tumpangan.
Tapi waktu saya melihat matamu, kebaikan hati dan rasa kasihmu terasa jelas ada pada
dirimu. Saya tahu saat itu juga bahwa jiwamu yang lembut akan menyambut kesempatan
untuk memberi saya pertolongan pada saat saya membutuhkannya."
Komentar yang menghangatkan hati itu menyentuh si penunggang kuda dengan dalam. "Saya
berterima kasih sekali atas perkataan bapak", ia berkata pada si orang tua. "Mudah-mudahan
saya tidak akan terlalu sibuk mengurus masalah saya sendiri hingga saya gagal menanggapi
kebutuhan orang lain.."
Seraya berkata demikian, Thomas Jefferson, si penunggang kuda itu, memutar kudanya dan
melanjutkan perjalanannya menuju ke Gedung Putih.
The Sower's Seeds - Brian Cavanaugh.
Kau tak akan pernah tahu kapan kau akan memerlukan orang lain, atau kapan seseorang
memerlukanmu. Kebijakan dari seluruh hidupmu melukis sebuah citra dimatamu, yang
membantu orang lain melihat, menemukan pertolongan yang ia butuhkan, dan bahwa masih ada
keutamaan lain di dunia ini dari pada sekedar peduli dengan dirimu sendiri, yaitu
kepedulianmu pada orang lain, sahabatmu atau benar-benar orang lain.
Maka bila ada sahabat atau seseorang memerlukan perhatian atau bantuanmu, atau meminta
maaf atas satu kesalahan, itu karena ia menghormati dan menghargai kebaikan yang pasti ada
dalam jiwamu. Kau dapat menghormati juga permintaan itu, atau kau meninggalkannya di
tengah jalan sendirian.
Taubatnya malik Bin Dinar
Diriwayatkan dari Mali bin Dinar, dia pernah ditanya tentang sebab-sebab dia bertaubat,
maka dia berkata : "Aku adalah seorang polisi dan aku sedang asyik menikmati khamr,
kemudia akau beli seorang budak perempuan dengan harga mahal, maka dia melahirkan
seorang anak perempuan, aku pun menyayanginya.
Ketika dia mulai bisa berjalan, maka cintaku bertambah padanya. Setiap kali aku meletakkan
minuman keras dihadapanku anak itu datang padaku dan mengambilnya dan menuangkannya di
bajuku, ketika umurnya menginjak dua tahun dia meninggal dunia, maka aku pun sangat sedih
atas musibah ini.
Ketika malam dipertengahan bulan Sya'ban dan itu di malam Jum'at, aku meneguk khamr lalu
tidur dan belum shalat isya'. Maka akau bermimpi seakan-akan qiyamat itu terjadi, dan
terompet sangkakala ditiup, orang mati dibangkitkan, seluruh makhluk dikumpulkan dan aku
berada bersama mereka, kemudian aku mendengar sesuatu yang bergerak dibelakangku.
Ketika aku menoleh ke arahnya kulihat ular yang sangat besar berwarna hitam kebiru-biruan
membuka mulutnya menuju kearahku, maka aku lari tunggang langgang karena ketakutan,
Ditengah jalan kutemui seorang syaikh yang berpakaian putih dengan wangi yang semerbak,
maka aku ucapkan salam atasnya, dia pun menjawabnya, maka aku berkata :
"Wahai syaikh ! Tolong lindungilah aku dari ular ini semoga Allah melindungimu". Maka syaikh
itu menangis dan berkata padaku :
"Aku orang yang lemah dan ular itu lebih kuat dariku dan aku tak mampu mengatasinya, akan
tetapi bergegaslah engkau mudah-mudahan Allah menyelamatkanmu",
Maka aku bergegas lari dan memanjat sebuah tebing Neraka hingga sampai pada ujung tebing
itu, aku lihat kobaran api Neraka yang sangat dahsyat, hampir saja aku terjatuh kedalamnya
karena rasa takutku pada ular itu. Namun pada waktu itu seorang menjerit memanggilku,
"Kembalilah engkau karena engkau bukan penghuni Neraka itu!", aku pun tenang
mendengarnya, maka turunlah aku dari tebing itu dan pulang. Sedang ular yang mengejarku
itu juga kembali. Aku datangi syaikh dan aku katakan,
"Wahai syaikh, aku mohon kepadamu agar melindungiku dari ular itu namun engkau tak mampu
berbuat apa-apa". Menangislah syaikh itu seraya berkata, "Aku seorang yang lemah tetapi
pergilah ke gunung itu karena di sana terdapat banyak simpanan kaum muslimin, kalau engkau
punya barang simpanan di sana maka barang itu akan menolongmu"
Aku melihat ke gunung yang bulat itu yang terbuat dari perak. Di sana ada setrika yang telah
retak dan tirai-tirai yang tergantung yang setiap lubang cahaya mempunyai daun-daun pintu
dari emas dan di setiap daun pintu itu mempunyai tirai sutera.
Ketika aku lihat gunung itu, aku langsung lari karena kutemui ular besar lagi. Maka tatkala
ular itu mendekatiku, para malaikat berteriak : "Angkatlah tirai-tirai itu dan bukalah pintunya dan mendakilah kesana!" Mudah-mudahan dia punya barang titipan di sana yang
dapat melindunginya dari musuhnya (ular).
Ketika tirai-tirai itu diangkat dan pintu-pintu telah dibuka, ada beberapa anak dengan wajah
berseri mengawasiku dari atas. Ular itu semakin mendekat padaku, maka aku kebingungan,
berteriaklah anak-anak itu :
"Celakalah kamu sekalian!, Cepatlah naik semuanya karena ular besar itu telah mendekatinya".
Maka naiklah mereka dengan serentak, aku lihat anak perempuanku yang telah meninggal ikut
mengawasiku bersama mereka. Ketika dia melihatku, dia menangis dan berkata :
"Ayahku, demi Allah!" Kemudian dia melompat bak anak panah menuju padaku, kemudian dia
ulurkan tangan kirinya pada tangan kananku dan menariknya, kemudian dia ulurkan tangan
kanannya ke ular itu, namun binatang tersebut lari.
Kemudian dia mendudukkanku dan dia duduk di pangkuanku, maka aku pegang tangan kanannya
untuk menghelai jenggotku dan berkata : "Wahai ayahku! Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah". (QS. Al-Hadid : 16).
Maka aku menangis dan berkata : "Wahai anakku!, Kalian semua faham tentang Al-Qur'an",
maka dia berkata :
"Wahai ayahku, kami lebih tahu tentang Al-Qur'an darimu", aku berkata :
"Ceritakanlah padaku tentang ular yang ingin membunuhku", dia menjawab :
"Itulah pekerjaanmu yang buruk yang selama ini engkau kerjakan, maka itu akan
memasukkanmu ke dalam api Neraka", akau berkata :
"Ceritakanlah tentang Syaikh yang berjalan di jalanku itu", dia menjawab : "Wahai ayahku,
itulah amal shaleh yang sedikit hingga tak mampu menolongmu", aku berkata :
"Wahai anakku, apa yang kalian perbuat di gunung itu?", dia menjawab : "Kami adalah anakanak
orang muslimin yang di sini hingga terjadinya kiamat, kami menunggu kalian hingga
datang pada kami kemudian kami memberi syafa'at pada kalian". (HR. Muslim dalam
shahihnya No. 2635).
Berkata Malik : "Maka akupun takut dan aku tuangkan seluruh minuman keras itu dan
kupecahkan seluruh botol-botol minuman kemudian aku bertaubat pada Allah, dan inilah
cerita tentang taubatku pada Allah".
Dikutip dari : Hakikat Taubat.
SUMBER : http:/www.alirsyad-alislamy.or.id
maka dia berkata : "Aku adalah seorang polisi dan aku sedang asyik menikmati khamr,
kemudia akau beli seorang budak perempuan dengan harga mahal, maka dia melahirkan
seorang anak perempuan, aku pun menyayanginya.
Ketika dia mulai bisa berjalan, maka cintaku bertambah padanya. Setiap kali aku meletakkan
minuman keras dihadapanku anak itu datang padaku dan mengambilnya dan menuangkannya di
bajuku, ketika umurnya menginjak dua tahun dia meninggal dunia, maka aku pun sangat sedih
atas musibah ini.
Ketika malam dipertengahan bulan Sya'ban dan itu di malam Jum'at, aku meneguk khamr lalu
tidur dan belum shalat isya'. Maka akau bermimpi seakan-akan qiyamat itu terjadi, dan
terompet sangkakala ditiup, orang mati dibangkitkan, seluruh makhluk dikumpulkan dan aku
berada bersama mereka, kemudian aku mendengar sesuatu yang bergerak dibelakangku.
Ketika aku menoleh ke arahnya kulihat ular yang sangat besar berwarna hitam kebiru-biruan
membuka mulutnya menuju kearahku, maka aku lari tunggang langgang karena ketakutan,
Ditengah jalan kutemui seorang syaikh yang berpakaian putih dengan wangi yang semerbak,
maka aku ucapkan salam atasnya, dia pun menjawabnya, maka aku berkata :
"Wahai syaikh ! Tolong lindungilah aku dari ular ini semoga Allah melindungimu". Maka syaikh
itu menangis dan berkata padaku :
"Aku orang yang lemah dan ular itu lebih kuat dariku dan aku tak mampu mengatasinya, akan
tetapi bergegaslah engkau mudah-mudahan Allah menyelamatkanmu",
Maka aku bergegas lari dan memanjat sebuah tebing Neraka hingga sampai pada ujung tebing
itu, aku lihat kobaran api Neraka yang sangat dahsyat, hampir saja aku terjatuh kedalamnya
karena rasa takutku pada ular itu. Namun pada waktu itu seorang menjerit memanggilku,
"Kembalilah engkau karena engkau bukan penghuni Neraka itu!", aku pun tenang
mendengarnya, maka turunlah aku dari tebing itu dan pulang. Sedang ular yang mengejarku
itu juga kembali. Aku datangi syaikh dan aku katakan,
"Wahai syaikh, aku mohon kepadamu agar melindungiku dari ular itu namun engkau tak mampu
berbuat apa-apa". Menangislah syaikh itu seraya berkata, "Aku seorang yang lemah tetapi
pergilah ke gunung itu karena di sana terdapat banyak simpanan kaum muslimin, kalau engkau
punya barang simpanan di sana maka barang itu akan menolongmu"
Aku melihat ke gunung yang bulat itu yang terbuat dari perak. Di sana ada setrika yang telah
retak dan tirai-tirai yang tergantung yang setiap lubang cahaya mempunyai daun-daun pintu
dari emas dan di setiap daun pintu itu mempunyai tirai sutera.
Ketika aku lihat gunung itu, aku langsung lari karena kutemui ular besar lagi. Maka tatkala
ular itu mendekatiku, para malaikat berteriak : "Angkatlah tirai-tirai itu dan bukalah pintunya dan mendakilah kesana!" Mudah-mudahan dia punya barang titipan di sana yang
dapat melindunginya dari musuhnya (ular).
Ketika tirai-tirai itu diangkat dan pintu-pintu telah dibuka, ada beberapa anak dengan wajah
berseri mengawasiku dari atas. Ular itu semakin mendekat padaku, maka aku kebingungan,
berteriaklah anak-anak itu :
"Celakalah kamu sekalian!, Cepatlah naik semuanya karena ular besar itu telah mendekatinya".
Maka naiklah mereka dengan serentak, aku lihat anak perempuanku yang telah meninggal ikut
mengawasiku bersama mereka. Ketika dia melihatku, dia menangis dan berkata :
"Ayahku, demi Allah!" Kemudian dia melompat bak anak panah menuju padaku, kemudian dia
ulurkan tangan kirinya pada tangan kananku dan menariknya, kemudian dia ulurkan tangan
kanannya ke ular itu, namun binatang tersebut lari.
Kemudian dia mendudukkanku dan dia duduk di pangkuanku, maka aku pegang tangan kanannya
untuk menghelai jenggotku dan berkata : "Wahai ayahku! Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah". (QS. Al-Hadid : 16).
Maka aku menangis dan berkata : "Wahai anakku!, Kalian semua faham tentang Al-Qur'an",
maka dia berkata :
"Wahai ayahku, kami lebih tahu tentang Al-Qur'an darimu", aku berkata :
"Ceritakanlah padaku tentang ular yang ingin membunuhku", dia menjawab :
"Itulah pekerjaanmu yang buruk yang selama ini engkau kerjakan, maka itu akan
memasukkanmu ke dalam api Neraka", akau berkata :
"Ceritakanlah tentang Syaikh yang berjalan di jalanku itu", dia menjawab : "Wahai ayahku,
itulah amal shaleh yang sedikit hingga tak mampu menolongmu", aku berkata :
"Wahai anakku, apa yang kalian perbuat di gunung itu?", dia menjawab : "Kami adalah anakanak
orang muslimin yang di sini hingga terjadinya kiamat, kami menunggu kalian hingga
datang pada kami kemudian kami memberi syafa'at pada kalian". (HR. Muslim dalam
shahihnya No. 2635).
Berkata Malik : "Maka akupun takut dan aku tuangkan seluruh minuman keras itu dan
kupecahkan seluruh botol-botol minuman kemudian aku bertaubat pada Allah, dan inilah
cerita tentang taubatku pada Allah".
Dikutip dari : Hakikat Taubat.
SUMBER : http:/www.alirsyad-alislamy.or.id
Salman al-farsi RA
Kelahiran dan pertumbuhannya:
Salman Al-Farisi r.a. lahir di suatu desa bernama Jiyan di wilayah kota Aspahan - Iran, yaitu
antara kota Teheran dengan Syiraz. Setelah Salman r.a. mendengar kebangkitan Rasulullah
saw. dia langsung berangkat meninggalkan Persia mencari Nabi saw. untuk menyatakan
keislamannya.
Dalam suatu kisah, Salman menceritakan otobiografinya sbb. 'Saya adalah anak muda Persia
yang berasal dari suatu desa di kota Aspahan yang bernama Jiyan.
Ayah saya adalah kepala desa dan orang terkaya serta terhormat di desa itu. Dari sejak
lahir, saya adalah orang yang paling disayanginya, kasih sayangnya kepada saya semakin hari
semakin kental, sehingga saya di kurung di rumah bagaikan gadis pingitan.
Saya termasuk orang yang takwa dalam agama majusi, sehingga saya merasakan nilai api yang
kami sembah itu dan saya diberi tanggungjawab menyalakannya, jangan sampai padam
sepanjang hari dan sepanjang malam.
Ayah saya mempunyai ladang yang luas yang memberi kami penghidupan yang cukup. Ayah
saya selalu mengurusi dan memanennya sendiri.
Di suatu hari, dia tidak bisa pergi ke ladang, lalu dia mengatakan kepada saya, 'Anakku! Ayah
sibuk dan tidak bisa pergi ke ladang hari ini, sebab itu pergilah urusi ladang tersebut
menggantikan Ayah.' Lalu saya berangkat menuju ladang kami.
Di tengah perjalanan, saya melewati sebuah gereja Kristen dan mendengar suara mereka
yang sedang beribadah di dalam. Hal itu menarik perhatian saya karena saya tidak pernah
tahu sedikitpun tentang agama Kristen dan agama lainnya, karena sepanjang usia saya selalu
dipingit di dalam rumah oleh orang tua saya. Setelah mendengar suara itu, saya masuk ingin
mengetahui secara dekat apa yang sedang mereka lakukan.
Setelah saya memperhatiakan apa yang mereka kerjakan, saya merasa tertarik dengan cara
mereka beribadah, malah saya tertarik dengan agama mereka. Saya mengatakan dalam hati
saya, 'Sungguh agama mereka ini lebih baik dari agama kami.'
Saya tidak keluar dari gereja tersebut sampai matahari terbenam sehingga saya tidak jadi
pergi ke ladang kami. Saya menayakan kepada mereka, 'Dari mana asal agama ini?' Mereka
menjawab, 'Dari daerah Syam.'
Setelah malam menjelang, saya pulang ke rumah. Ayah saya langsung menanyakan kepada saya
apa yang telah saya lakukan. Saya menjawab, 'Hai Ayahku! Saya melewati sekelompok orang
yang sedang beribadah di dalam gereja, lalu saya tertarik dengan cara mereka beribadah.
Saya berada bersama mereka sampai matahari terbenam.' Ayah saya langsung marah
mendengar tindakan saya dan dia mengatakan,
'Hai anakku! Agama mereka itu tidak baik, agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik
dari agama itu.'
Saya menjawab, 'Tidak ayah! Agama mereka lebih baik dari agama kita.' Dari perkataan saya
itu, syah saya takut kalau-kalau saya akan murtad, lalu dia mengurung saya di rumah dengan
mengekang kaki saya.'
Berangkat ke negeri Syam:
Ketika saya mendapat kesempatan, saya mengirim pesan kepada kaum Kristen itu. Saya
mengatakan,'Bila ada rombongan yang akan berangkat ke negeri Syam, tolong saya diberi
tahu.' Ternyata tidak berapa lama ada satu rombongan yang akan berangkat ke negeri Syam.
Mereka pun langsung memberitahukannya kepada saya. Saya berusaha membuka kekang kaki
saya dan saya berhasil membukanya. Saya berangkat bersama mereka secara sembunyi dan
akhirnya kami sampai di negeri Syam. Setibanya di negeri Syam, saya mengatakan, 'Siapa
orang nomor satu dalam agama ini?' Mereka menjawab, 'Uskup pengasuh gereja.'
Saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya, 'Saya tertarik dengan agama Kristen ini dan
saya ingin mengikuti dan membantumu sekaligus belajar dari kamu dan beribadah bersama
kamu.' Dia menjawab, 'Silakan masuk!' Saya pun masuk dan menjadi pembantunya.
Belum berlangsung lama, saya menilai bahwa orang tersebut adalah orang jahat, dia menyuruh
pengikutnya untuk berderma dan mengiming-imingi mereka dengan pahala yang sangat besar.
Setelah mereka memberikannya dengan niat fi sabilillah, ternyata dia monopoli untuk dirinya
sendiri, tidak diberikan kepada fakir miskin sedikitpun. Dia berhasil mengumpulkan sebanyak
tujuh karung emas. Melihat keadaan itu, saya menaruh kebencian yang luar biasa
terhadapnya.
Ketika dia meninggal, kaum Kristen berkumpul untuk menguburkannya, ketika itu saya
mengatakan kepada mereka, 'Sesungguhnya teman kamu ini adalah orang jahat, dia menyuruh
kamu bersedekah dan mengiming-imingkan pahala besar, setelah kalian kumpulkan, dia
monopoli untuk dirinya sendiri, dia tidak berikan sedikitpun kepada fakir miskin.' Mereka
menjawab, 'Dari mana kamu tahu?' Saya menjawab, 'Mari saya tunjukkan kepada kamu
sekarang juga tempat penyimpanan harta itu' Mereka mengatakan, 'Ayo tunjukkan kepada
kami tempatnya.'
Saya pun menunjukkannya dan mereka menemukan tujuh karung emas dan perak. Setelah
mereka melihat secara langsung, mereka mengatakan, 'Demi Allah kita tidak akan
menguburkannya, kita harus menyalib dan melemparinya dengan batu.'
Tidak lama kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya, lalu saya
mengikutinya. Sungguh saya belum pernah mendapatkan orang yang paling zuhud dan
mengharap akhirat melebihi orang itu. Ibadahnya yang berlangsung siang malam membuat
saya mnyenanginya, lalu saya hidup bersama dia beberapa tahun. Ketika menjelang wafatnya,
saya mengatakan kepadanya, 'Ya Polan! Kepada siapa engkau pesankan saya dan dengan siapa
saya akan hidup sepeninggal kamu?'
Dia menjawab, 'Ya anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang yang tingkat
keagamaannya seperti kita, kecuali satu orang di kota Musol yang bernama Polan. Dia tidak
merubah-rubah dan mengganti-ganti ayat Allah. Oleh sebab itu carilah orang itu.'
Sepeninggal teman saya itu, saya pergi menyusul orang tersebut ke kota Musol. Setibanya di
rumah beliau saya menceritakan kisah saya dan mengatakan kepadanya, 'Ketika si Polan
hendak meninggal dunia dia memesankan kepada saya untuk menyusul kamu, dia
memberitahukan kepada saya bahwa kamu berpegang kuat dengan kebenaran. Dia mengatakan
kepada saya, kalau begitu, tinggallah bersama saya. Saya pun tinggal bersama beliau, dan
memang betul dia adalah orang baik.
Tidak lama kemudian, diapun menemui ajalnya. Ketika hendak meninggal saya bertanya
kepadanya, 'Ya Polan! Janji Tuhan sudah dekat kepada Anda, Anda tahu kondisi saya
sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa Anda memesankan saya dan siapa yang harus saya
ikuti?'
Dia menjawab, 'Hai anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang yang tingkat
keagamaannya seperti kita kecuali seorang di Nasibin yang bernama Polan, susullah dia ke
sana' Setelah orang itu bersemayam di liang lahad, saya berangkat ke Nasibin mencari orang
yang disebutkan itu. Saya menceritakan kepadanya kisah saya dan pesan teman saya
sebelumnya. Dia mengatakan, 'Tinggallah bersama saya.'
Saya pun tinggal bersama dia dan ternyata memang dia adalah orang baik seperti dua orang
teman saya sebelumnya. Akan tetapi tidak lama kemudian dia pun menemui ajalnya. Ketika
menjelang maut, saya bertanya kepadanya, 'Engkau telah mengetahui kondisi saya
sebenarnya. Oleh sebab itu kepada siapa engkau memesankan saya?'
Dia menjawab, 'Ya anakku! Terus terang saya tidak menemukan ada orang yang tingkat
keagamaannya seperti kita kecuali seorang di kota Amuriah yang bernama Polan, carilah
orang itu.' Saya pun mencarinya dan saya menceritakan kisah saya kepadanya. Dia menjawab,
'Tinggallah bersama saya.' Saya pun tinggal bersama dia. Ternyata memang dia orang baik
seperti yang dikatakan orang sebelumnya. Selama saya tinggal bersama dia saya berhasil
mendapatkan beberapa ekor sapi dan harta kekayaan lainnya.
Pendeta Kristen memesan Salman mengikuti Nabi:
Kemudian orang tersebut pun menemui ajalnya seperti yang sebelumnya. Ketika menjelang
kematiannya, saya mengatakan kepadanya, 'Anda mengetahui kondisi saya sebenarnya, oleh
sebab itu kepada siapa engkau akan pesankan saya atau apa pesan Anda untuk saya lakukan?'
Dia menjawab, 'Hai anakku! Terus terang saya tidak menemukan seorang-pun di muka bumi ini
yang masih berpegang dengan agama kita, namun waktunya sudah tiba, seorang nabi yang akan
membawa agama Nabi Ibrahim akan muncul di tanah Arab, dia akan hijrah dari tanah tumpah
darahnya ke daerah yang penuh dengan pohon kurma di antara dua gunung, dia mempunyai
tanda kenabian yang sangat jelas, dia mau memakan hadiah tapi tidak mau memakan sedekah,
di antara bahunya terdapat cap kenabian. Jika Anda bisa menyusul ke negeri itu, silakan.'
Tidak lama kemudian dia pun meninggal dunia, saya pun tinggal di kota Amuriah untuk
beberapa waktu.
Datang ke jazirah Arabia:
Ketika rombongan pedagang dari Suku Kalb -Arab- lintas di Amuriah, saya berkata kepada
mereka, 'Jika kalian sanggup membawa saya ke tanah Arab, saya berikan kepada kalian sapi
dan harta kekayaan saya ini.' Mereka menjawab, 'Ya, kami sanggup membawa kamu.' Saya pun
memberikan sapidan kekayaan saya tersebut kepada mereka dan mereka pun membawa saya.
Ketika saya sampai di Wadil qura, mereka menipu saya dan menjual saya kepada kepada
seorang yahudi dan memperlakukan saya sebagai hambanya. Suatu ketika, saudaranya dari
suku Quraizah datang menemuinya, lalu dia membeli dan membawa saya pergi ke Yasrib
(Madinah). Di sana saya melihat pohon kurma yang disebut oleh teman saya yang di Amuria,
dari diskripsi yang disampaikan teman saya itu, saya tahu persis bahwa inilah kota yang
dimaksudkan itu. Saya pun tinggal brsama tuan saya di kota itu.
Ketika itu Nabi saw. sudah mulai mengajak kaumnya di Mekah untuk masuk Islam, namun saya
tidak mendengar apa-apa dari kegiatan Nabi itu karena kesibukan saya sehari-hari sebagai
budak.
Memeluk Islam:
Tidak berapa lama, Rasulullah saw. pun hijrah ke Yasrib. Demi Allah ketika saya berada di
atas sebatang pohon kurma milik tuan saya, sedang memberesi kurma itu, sedangkan tuan
saya duduk dibawah, seorang saudaranya datang dan mengatakan kepadanya, 'Celaka besar
atas bani Qilah, mereka sekarang sedang berkumpul di Kuba, menunggu seorang yang
mengklaim dirinya sebagai seorang nabi akan datang hari ini.'
Setelah saya mendengar pembicaraan mereka itu, saya langsung merinding kayak demam,
saya gemetar, sehingga saya khawatir akan jatuh ke tuan saya. Saya segera turun dari pohon
kurma tersebut lalu mengatakan kepada tamu itu, 'Apa tadi yang Anda katakan? Tolong
ulangi katakan kepada saya!' Tuan saya langsung marah dan memukul saya sekuat-kuatnya lalu
mengatakan,
'Urusan apa kamu dengan berita itu? Kembali teruskan pekerjaanmu!'
Di sore harinya, saya mengambil sedikit kurma yang telah saya kumpulkan sebelumnya, lalu
saya berangkat ke tempat Nabi tinggal. Ketika itu saya mengatakan kepada Rasulullah, 'Saya
mendengar bahwa Anda adalah orang saleh, datang bersama teman-teman dari kejauhan
memerlukan sesuatu. Di tangan saya ada sedikit sedekah, nampaknya kamu lebih pantas
menerimanya.'
Lalu saya dekatkan kurma itu kepada mereka. Rasulullah saw. mengatakan kepada para
Sahabat, 'Makanlah' sedangkan dia sendiri tidak memakannya. Saya mengatakan dalam hati
saya, 'Ini dia satu tanda kenabiannya.'
Kemudian saya kembali ke rumah dan mengambil beberapa buah kurma, ketika Nabi saw.
berangkat dari Quba ke Madinah, saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya,
'Tampaknya Anda tidak memakan sedekah, ini ada sedikit hadiah saya bawa sebagai
penghormatan kepada Anda.'
Rasululullah pun memakannya dan menyuruh sahabat untuk ikut memakannya, lalu mereka
makan bersama-sama.
Dalam hati saya berkata, 'Ini dia tanda kenabian kedua'
Ketika Nabi berada di Baqi Gargad, ingin menguburkan seorang sahabat, saya mendatangi
beliau dan melihat beliau sedang duduk memakai dua selendang. Saya mengucapkan salam
kepadanya, kemudian saya berjalan berputar sekeliling beliau untuk melihat punggungnya,
barang kali saja saya dapat melihat cap seperti yang dikatakan oleh teman saya di Amuriah.
Setelah Nabi melihat bahwa saya memperhatikan punggung beliau, dia mengerti tujuan saya,
lalu dia mengangkat selendangnya, ketika itu saya melihat ada cap, lalu saya yakin bahwa
itulah cap kenabian, lalu saya memeluk dan mencium beliau sambil menangis.
Melihat hal itu Rasulullah saw. bertanya, 'Apa gerangan yang terjadi pada kamu?' Saya pun
menceritakan kisah saya dan beliau sangat kagum dan beliau menginginkan agar saya
perdengarkan kepada para sabahat, lalu saya memperdengarkannya. Mereka semua kagum
dan gembira yang tiada taranya.
Salman masuk Islam dan dimerdekakan, seterusnya menjadi seorang sahabat yang sangat
mulia. Dia sempat menjabat gubernur di zaman khulafaur Rasyidun di beberapa negeri.
Mudah-mudahan Allah meridai beliau.
Biografinya:
Dalam satu riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah meletakkan tangannya di atas
Salman, lalu bersabda, 'Seandainya iman berada nun jauh di planet Tata surya, pasti akan
dicapai oleh orang-orang mereka ini.' sambil beliau menunjuk kepada Salman r.a.
Sumber: alislam (Abu Saifulhaq)
http://alhikmah.com
SEBUTIR KORMA PENJEGAL DO’A
Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa. Untuk
bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat
timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan
memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa.
4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat
beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali.
Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
"Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan
ALLAH SWT," kata malaikat yang satu.
"Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma
yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram," jawab malaikat yang
satu lagi.
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya,
shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT garagara
memakan sebutir kurma yang bukan haknya. "Astaghfirullahal adzhim" ibrahim
beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma.
Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak
menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. "4 bulan yang lalu saya membeli
kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?" tanya ibrahim.
"Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang
kurma" jawab anak muda itu.
"Innalillahi wa innailaihi roji'un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?".
Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh
minat. "Nah, begitulah" kata ibrahim setelah bercerita, "Engkau sebagai ahli waris orangtua
itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa
izinnya?".
"Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara
saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka
mempunyai hak waris sama dengan saya."
"Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu."
Created by: Syihab
Page 3 of 38
Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai
juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh
ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia
mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. "Itulah ibrahim bin adham
yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain."
"O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris
pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma
yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas."
"Oleh sebab itu berhati-hatilah dgn makanan yg masuk ke tubuh kita, sudah halal-kah? lebih
baik tinggalkan bila ragu-ragu...
Langganan:
Postingan (Atom)